KITA SELAMANYA- dalam
setiap hubungan berpacaran ataupun pernikahan yang di inginkan oleh setiap
pasangan adalah awet dalam menjalin kasihnya. Yang berpacaran inginnya
melanjutkan ke jenjang pernikahan, yang sudah menikah tentu menginginkan
cintanya setia sampai mati. Namun semua itu adalah rencana seorang manusia, namun Tuhan lah yang menentukan segalanya. Karena jodoh, rezeki, maut kita sudah ditentukan sejak kita lahir.
Berikut adalah sebuah cerpen yang di ambil tema-nya dari
sebuah lagu Bondan Prakoso & fade2black yang berjudul KITA SELAMANYA. Seperti apa kisahnya? Kita simak berikut ini.
Sudah satu minggu salah satu jam tangan koleksiku rusak.
Sebuah jam tangan G-Shock Fisherman
DW-8600 keluaran tahun 1996. Sebeulnya aku pikir baterainya habis dan sudah
saatnya diganti. Lalu aku mengganti baterainya dengan yang baru. Tetapi
sayangnya, dia tetap tak berfungsi.
Dua hari yang lalu aku membawanya ke tempat reparasi jam
tangan langgananku-sebuah toko kecil milik koh Acing di bilangan Jakarta
Selatan. Aku sudah senang karena jam tangan itu kembali berfungsi sepulang dari
toko Century Jaya milik Koh Acing. Tak ada spare part yang di ganti dan aku
cukup membayar ongkos reparasi kecil sebesar dua puluh ribu rupiah. Fahmi, ahli
reparasi jam tangan andalan Koh Acing hanya membukanya, memperhatikan mesinnya
yang menurutnya masih baik-baik saja, membersihkan dari debu-debu, lalu
mengencangkan kembali baut-bautnya.
Sayang, meski tidak seribu sayang, keesokan harinya jam
tangan itu kembali kehilangan angka-angkanya..
G-Shock Fisherman
DW-8600 keluarah tahun 1996 koleksiku bukan jam tangan biasa. Bukan karena
harganya mahal atau karena aku susah payah mendapatkannya. Tetapi lebih karena
seseorang yang memberikannya.
Jam tangan ini hadiah dari salah seorang sahabatku. Anggap
saja begitu, namanya Wina. Istimewanya, jam tangan itulah yang pertama kali
membuat aku jatuh cinta pada waktu yang ‘terperangkap’ di dalam arloji --- angka-angka
yang seolah mengendalikan sekaligus di kendalikan oleh sesuatu yang gaib
bernama ‘waktu’. Sejak itulah aku memutuskan untuk memulai hobi baru mengoleksi
jam tangan digital.
Baiklah kalau boleh jujur, dulu wina adalah pacarku. Dialah
perempuan pertama yang berhasil membuatku jatuh cinta, seperti G-Shock pemberianya yang membuatku
terobsesi pada angka-angka dalam arloji. Sayangnya kami putus sekitar dua tahun
yang lalu karena alasan yang tak bisa ku jelaskan pada kalian saat ini. Kami
berpacaran sejak SMA dan kenangan manis bersama Wina adalah yang paling
istimewa dari selurug rekam jejak karis asmaraku.
Entah bagaimana, Wina tetap punya posisi istimewa dalam
hatiku. Dia seolah punya ruangan tersendiri, yang meskipun begitu jauh berada
di dasar hatiku, sesjujurnya aku masih rajin menengoknya; berjalan-jalan
disana, berdiam diri untuk waktu yang cukup lama--- menikmati kenangan kita
berdua. Ada foto-foto kami disana. Surat-surat cinta kami. Keisengan kami.
Ciuman dan pelukan pertama kami.
Lalu jam tangan itu? Aku
menyebutnya G-Shock Wina. Bukan hanya angka-angkana yang penting, bagiku
ia bagaikan sebuah pintu agar aku bisa memasuki salah satu ruang dalam hatiku
yang penuh di tinggali Wina untuk waktu cukup lama. Maka, ketika ia rusak, aku
merasa seperti mendapati pintu yang rusak. Ia harus terjaga dan baik-baik saja.
Kini, jam tangan itu rusak entah mengapa; menerbitkan rasa
gusar dan gelisah dalam hatiku. Tiga malam belakangan ini aku susah tidur. Ada
perasaan yang tidak enak yang hinggap di diriku. Aku juga jadi gampang terjaga
dan telingaku sering berdenging. Ah, aku tak mengerti apa yang sedang terjadi;
Saat susah tidur seperti itu aku biasanya mencoba memperbaiki G-Shock Wina yang sedang rusak;
membolak-baliknya, memencet-mencet tombolnya. Meletakkanynya ke telapak tangan
– meskipun aku tak pernah benar-benar yakin bisa memperbaikinya.
Namun, di atas itu seiga malam itu kenangan tentang Wina
tiba-tmua, yang mengherankan, entah mengapa pada tiba menguat dan menyeruak
dari ingatanku. Wina apa kabar ya dia sekarang?
****
Aku baru saja mengubah setting profile ponsel dari silent ke
normal ketika mesin komunikasi mungil itu berdering. Nomor pemanggil yang
muncul di layar berasal dari salah satu teman lamaku di SMA; Abduh. Ini agak
mengherankan sebab sudah lama kami tak saling kontak. Segera aku mengangkatnya.
Abduh yang biasanya periang kali ini kudengar berbicara dengan suaa parau yang
berat. Setelah sedikit berbasa-basi menanyakan apa kabarku dan aku ada dimana,
Abduh segera memberitakan kabar itu, “Kamu bisa mengusahakan ke jogja? Wina
meninggal. Besok pagi dimakamkan. Teman-teman di jogja sudah berkumpul di rumah
duka, yang lain sedang dihubungi satu per satu dan segera menyusul.”
Kabar itu begitu menyentak. Inikah jawaban mengapa G Shock Wina tak berfungsi selama
beberapa hari? Ah, entahlah!
***
Aku segera berbenah. Aku menelpon atasanku untuk meminta
izin tak masuk kantor besok karena urusan mendadak. Urusan Keluarga, kataku,
ada saudara yang meninggal. Tak seperti biasa atasanku yang terkenal galak dan
ribet urusan ini itu segera melepaskan izinnya. Mungkin karena alsanku
menyangkut kabar duka, mungkin juga karena hal lain. Entahlah, yang jelas aku
segera menelpon taksi.
Begitu taksi datang, aku segera tancap ke stasiun kereta
api. Hari ini seolah segalanya menjadi lancar. Taksi yang datang lebih cepat
dari pada yang aku perkirakan, spoirnya yang cekatan dan tidak banyak bicara,
tiket kereta yang masih tersedia, dan kereta malam yang berangkat tepat pada
waktunya.
Aku melirik G-Shock
Mudman G-9000-3V keluaran tahun 2009 di tangan kiriku, waktu menunjukkan
pukul 22.36. kalau tidak ada hambatan di jalan, kereta akan sampai di stasiun
Tugu. Jogja, kurang lebih pukul 07.10 pagi.
***
Sepanjang perjalanan aku menerima beberapa pesan singkat
tentang kematian Wina. Sebagian besar adalah teman-teman lamaku semasa SMA.
Sebagian yang lain sudah ada di sana dan besok akan turut mengantar jenazah
Wina ke pemakaman, hanya satu-dua orang saja yang tidak datang.
Sepanjang perjalanan, kenangan-kenangan tentang Wina menyeruak
dari dalam ingatan. Ya, bagi kami, Wina memang bukan sekedar teman biasa.
Terutama bagiku, ia sungguh istimewa. Wina bukan hanya cantik dan pandai,
tetapi juga baik hati. Semasa SMA dia seolah menjadi “ibu” bagi kami semua.
Kalau ada teman yang belum mengerjakan PR, dia selalu mengingatkan untuk
dikerjakan—bahkan dia tak segan memberikan PR-nya untuk disalin teman-teman
lain yang belum mengerjakan.
Suatu kalo, guru Matematika kami menyuruh Roni mengerjakan
soal logaritma di papan tulis. Ini semacam hukuman karena sejak tadi Roni
terlihat hany menggambar dan tak memperhatikan pelajaran. Kami tahu Roni tak
bisa mengerjakannya, dia tampak panik dan begitu gugup, sementara kami hanya
diam dan menunggu. Tetapi Wina, diam-diam dia menyelundupkan caratan kebawah
bangku agar roni bisa mendapatkannya. Wina sudah mengerjakan soal itu dan Roni
tinggal menyalinnya di depan. Tersebab catatan milik Wina hanya mengatakan
sederhana, “Kadang kita memang enggak
suka pelajaran tertentu, tetapi memperhatikan bukan soal suka atau enggak suka.
Memperhatikan adalah soal menghargai . Tadi aku bisa menolongmu, tetapi aku
nggak tahu lain kali. Rasanya nggak ada salahnya kan kalau memperhatikan
pelajaran, Ron?” tanyanya sambil tersenyum.
Di luar soal pelajaran, Wina juga sangat istimewa, dia
begitu ramah dan perhatian. Dia tak segan menolong dan membantu siapa saja.
Kalau ada satu-satunya murid di sekolah kami yang bisa bersahabat dengan para
preman sekolah sekaligus anak-anak Rohis, mungkin Wina-lah orangnya. Tak ada
yang berani macam-macam pada Wina, tak ada yang berani melukainya apalagi
membuatnya menangis. Sebab, bila seseorang berani melukai perasaanya,
barangkali Wina akan memaafkannya, tetapi dia akan berurusan dengan puluhan
bahkan ratusan teman di sekeliling Wina- yang begitu menyayanginya; begitu kami
semua.
Aku berntung bisa mendapatkan hatinya. Saat tahu Wina dan
aku berpacaran, satu sekolah membicarannya. Bukan satu atau dua orang yang
cemburu, aku merasa musuh terlalu banyak laki-laki di sekolah. Seminggu, dua
minggu, sebulan, aku memang merasa tak nyaman dengan situasi semacam itu.
Tetapi lama-kelamaan kami jadi pasangan favorit di sekolah. Hampir semua orang
dari guru sampai penjaga sekolah tahu kami pacaran.
Ah, Wina, mengapa begitu cepat kamu pergi?
***
Aku melirik jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul
02.30. entah mengapa perjalanan begitu lama, meski kereta berjalan dengan
kecepatan semestinya. Sebuah lagu mengalun pelan merambati kabel-kabel earphone
dari ipod Nano di genggamanku; KITA
SELAMANYA @Bondan Prakoso & Feade2Black.
Rasanya seluruh ingatan terlempar pada masa SMA. Di sana ada
aku dan Wina. Juga teman-teman yang
entah bagaimana caranya tak bisa hilang dalam ingatanku.
***
“Selamat ulang tahun , ya!” Aku masih mengingat senyumnya
yang manis, matanya yang puitis. 20 November, 6 tahun yang lalu, tepat di hari
ulang tahunku.
Sekolah kami mulai sepi ketika Wina menyerahkan hadiah itu.
Sia memang sengaja menahanku untuk tak pulang dulu. Di depan ruangan kelas III
C, di atas bangku kayu, di bawah pohon kersen yang daun-danunya mulai
menguning, kami duduk berdampingan. “Ini hadiah buat kamu.” Wina menyerahkan
sebuah kotak kecil yang dibungkus dengan kertas abu-abu bertekstur kayu.
Aku senang bukan main,”Apa ini?” tanyaku segera setelah
mendapatkannya. “Makasih banget ya, Win!”
Dia mengangguk perlahan, matanya berteu dengan mataku,
“Semoga kamu suka ya” katanya.
“Aku pasti suka, dong! Apapun hadiah dari kamu pasti aku
suka!”
Di hadapan kami , beberapa murid kelas II sedang bermain
basket 3 on 3. Teriakan-teriakan mereka bergaung di sudut kelas. Angin
berhembus perlahan. Sebuah kantung plastik hitam terbang di lorong kelas---
“Iya, pokonya selamat ulang tahu. Aku ingin kamu lebih
menghargai waktu dan memanfaatkannya untuk kebaikan hidupmu.”
“Iya, Pasti! Makasih banyak, ya? Aku sekalu berusaha
melakukan yang terbaik dalam hidupku,” Janjiku.
“Buka, dong,” kata Wina. Dia tersenyum kearahku.
Pelan-pelan aku membuka kotak kecil yang dibungkus kertas
abu-abu bertekstur kayu itu. Di dalamnya, sebuah kotak plastik transparan
memperlihatkan sebuah kado terindah sepanjang hidupku; itulah pertemuan
pertamaku dengan G-Shock Fisherman
DW-8600 berwana hitam, keluaran tahun 1996. Mataku berbinar menatapnya. Aku
segera membuka kotaknya dan menimang-nimang jam tangan indah itu.
“Ini pasti mahal, Win!” kataku spontan
“Waktu tak pernah murah,” kata Wina,” Jangan lihat harganya,
ya? Aku iklas kok ngasihnya. Udah lama aku memang mau ngasih jam tangan itu
buat kamu.”
“Makasih banget, Win! Ini istimewa banget,” kataku, “Kamu tahu?
Ini hadiah ulang tahun paling indah dalam hidupku!”
Wina tersenyum ke arahku. “Senang sekali bisa memberikan
hadiah paling indah dalam hidup seseorang,” balasnya.
Suara bola basket memantulmantul. Sebuah eriakan, lalu suara
ring di hantam bola. Teriakan Seorang anak kelas II dengan seragam basah
keringat mengepalkan tangannya keudara.
“Waktu itu misterius , ya?” kata Wina tiba-tiba.
“Eh, kenapa?” tanyaku.
“Aku selalu heran bagaimana caranya waktu memberikan
kehidupan yang berbeda bagi setiap orang.” Wina membetulkan posisi duduknya.
“Apakah waktu yang merekam ingatan dan kenangan?”
“barangkali”, Wina mengangkat bahunya, “Sudah berapa kita
duduk disini? Sudah berapa menit mereka bermain basket tiga lawan tiga? Apa
yang kita rasakan dengan apa yang mereka rasakan pasti berbeda, padahal waktu
yang kita habiskan sama. Barangkali mereka berpikir mereka sudah lama bermanin
basket siang ini, tetapi kita baru sebentar duduk disini—padahal bisa jadi
waktu yang kita habiskan sama saja. Apa hubunganya waktu dengan persepsi? Waktu
dan ingatan? Waktu dan kenangan?” tanya Wina sambil menunjuk beberapa orang
yang sedang bermain basket.
Aku menatap Wina dengan tatapan penuh pertanyaan. Meski pun
bukan kali pertama dia berbicara hal-hal serius semacam ini, tetapi apa yang
dia katakan saat itu benar-benar berbeda! “Aku ngga tahu Win. Mungkin berkaitan
dengan cara setiap orang merasakan waktu? Setiap orang memiliki pikiran dan
perasaan yang berbeda, itu sebabnya setiap orang memiliki cara pandang yang
berbeda, mungkin begitu juga terhadap waktu.” Jawabku.
Wina tersenyum, “Lupakan saja,” katanya, “ Aku hanya
penasaran tentang waktu. Apakah hidup kita yang dikendalikan oleh waktu, atau
kita yang mengendalikan waktu?”
“Aku tak tahu. Barangkali yang kedua, kitalah yang mengendalikan
waktu. Setiap orang punya cara sendiri begaimana hidup dalam waktu. Artinya,
setiap orang mempunyai cara-cara sendiri bagaimana memperlakukan waktu yang
mereka miliki.”
Wina mengangguk-angguk. “Itulah sebabnya aku hadiahkan
sebuah jam tangan kepadamu,” ucapnya. Kemudian dia menatap ke atahku. “Banyak orang yang melupakan waky, sehingga
mereka menyia-nyiakan hidup mereka masing-masing. Aku harap kau tak pernah
elupakan waktu, sehingga kau tak pernah berpikir untuk menyia-nyiakan hdiupmu.
Selamanya.”
Aku hanya terdiam
mendengar kata-kata terakhir Wina.
Aku mengangguk.
“janji?” tanya Wina
sambil menyodorkan kelingkingnya ke arahku.
“Aku akan berusaha.
Aku tak bisa berjanji,” jawabku, lalu kami menautkan kelingking kami berdua
.
“Kita selamanya!”
kata Wina, “Meskipun kelak kita berpisah, atau salah satu di antara kita pergi
lebih
dulu, waktu sudah merekam kenangan kita berdua, kini dan di sini, untuk
selamanya!”
“Kita selamanya!”
Kataku.
Waktu dalam arloji
sudah menunjukan angka 04.12. aku benar-benar tak bisa tidur. Perjalanan
Jakarta-Jogja malam ini terasa benar-benar panjang. Ah, Wina, kau benar, waktu
begitu misterius! Taukah kamu, setelah kau memberikan G-Shock DW-8600 berwarna
hitam di hari ulang tahunku, aku mabuk apapun tentang waktu! Aku terobsesi
angka-angka dalam arloji! Kamu juga tahu, setelah itu aku jadi pengoleksi jam
tangan dan kita tak menghentikan percakapan-percakapan kita soal waktu! Bahkan
hingga saat ini, meski kita sudah tak bersama lagi.
“Lebih baik putus!”
katamu di ujung telepon.
“Kenapa?” tanyaku.
“Aku sudah tidak
kuat,” tegasmu, “Waktu selalu berkhianat pada jarak! Kita memang berada di dua
kota yang tak terlalu jauh, aku kuliah di Bandung dan kamu di Jakarta. Tetapi
perpisahan kita selalu terasa begitu lama!”
Itulah alasan utama
perpisahan kita, Wina. Bukan karena kita sudah tidak saling suka, atau cinta
diantara kita sudah tiada. Tetapi kita tak bisa menundukkan waktu. Waktu
memperbudak jarak dan cinta kita—rasa rindu kita yang bagai kuda liar
mengamuk—dan kita tak bisa mengendalikannya.
Apakah aku sudah
menjelaskannya kepadamu, Wina? Waktu dalam hitungan teknis matematis
kadang-kadang mengkhianati waktu dalam gagasan kesadaran persepsi kita
terhadapnya. Waktu juga memang sering kali mengkhianati jarak. Tak
terbantahkan. Sekarang aku sedang menjalani salah satu buktinya: dalam
perjalanan yang menempuh jarak yang sama, kadang-kadang, kita merasakan rentang
waktu yang berubah-ubah dan berbeda-beda. Dia dipengaruhi banyak hal yang
melingkupinya. Jakarta-Jogja biasanya kutempuh dengan sekejab mata, sebentar
sekali, baru saja aku terlelap di Jakarta, lalu aku akan bangun di Jogja. Tapi
malam ini, semuannya berbeda!
Aku masib ingat
pertannyaanmu, Wina: Apa itu waktu?
Teka-teki waktu
ternyata sudah menjadi teka-teki terbesar sejak awal permulaan manusia, Wina.
Apakah dia sesuatu yang terus menerus mengalir, bermula dari satu titik dan
berakhir pada titik lain, seperti dunia Heraklitos yang terus mengalir?
Entahlah. Baginya, hidup dan waktu seperti sebuah alir sungai; kita tak pernah
bisa menceburi sungai yang sama dalam keadaan yang sama dua kali. Sebabnya
sederhana, air sungai terus mengalir dari hulu ke hilir. Begitulah hidup dan
waktu.
Namun, waktu bagi
filsuf yang lain, Heidos, waktu adalah sebuah daur melingkar. Sebuah perjalanan
siklus yang terus-menerus berubah. Kita mungkin mengalami waktu pada perjalanan
yang sama, tetapi kedirian kita berubah seiring putaran kita pada perjalanan
waktu itu. Inilah daur melingkar: kita bisa mengalami hari Senin pukul dua belas
yang sama, tetapi sesungguhnya kedirian kita berubah—menjadi lebih tua satu
minggu, misalnya. Sejujurnya, Wina, agak bingung juga bagiku mencerna gagasan
ini.
Hingga aku membaca
Phytagoras. Dia jjuga ternyata mengamini waktu sebagai daur melingkar.
Baginya,
kita mungkin akan mengalami siatu momen yang sesungguhnya pernah kita alami,
tetapi dengan kedirian—kesadaran, gagasan, persepsi—yang berbeda. Jika kita
bersalin rupa mengalami kedirian yang lain, bisakah ada sepotong ingatan yang
tertinggal dan bisa kita pungut lagi? Hei, Wina, inikah yang di sebut de javu?
Sebuah momen yang pernah kita alami, lalu kita alami lagi, tetapi dalam
kedirian yang berbeda?
Apa itu waktu? Aku
masih mengingat pertanyaanmu, Wina. Hingga kini sejujurnya aku masih sulit
menjawab pertannyaanmu.
Jangan-jangan waktu
itu sebenarnya tak ada? Jangan-jangan dia hanya ilusi?
Mungkin, waktu
hanyalah ilusi. Seperti kataku di bawah pohon kersen di sekolah waktu itu,
sesuatu yang berkelindan sangat erat dengan persepsi dan gagasan-kesadaran kita.
Ya, Wina, waktu
sangat berkaitan erat dengan presepsi manusia. Manusia tidak bisa menyerap
waktu tanpa presepsi. Dan, begitu besar kemungkinan bahwa tanpa presepsi, maka
waktu juga tak pernah ada. Coba kita bayangkan, tentunya dengan presepsi dan
kesadaran yang kita miliki; jika kita tak pernah merasakan apa yang kita sebut
selama ini sebagai ‘lama’, ‘sebentar’, ‘satu menit’, ‘satu tahun’, dan
seterusnya. Dan jika pengetahuan kita selama ini menganggap kalu ‘ukuran’ dan
‘satuan matematis’ itu sebagai waktu, maka tanpa persepsi dan kesadaran, waktu
sesungguhnya tak akan pernah ada(?).
Ah, Wina,
sejujurnya aku juga masih ragu, bernarkah waktu adalah ilusi dan jika tanpa
presepsi, sesungguhnya waktu tak ada?
Henri Bergson
(1859-1941) mungkin pernah menjawab kebimbangan ini dengan cara membedakan
‘waktu’ ke dalam dua jenis yang dia sebut sebagai time and duration. Bagi
Bergson, keduanya berbeda. Time (waktu) adalah apa yang kita kenal selama ini
sebagai satuan matematis yang memiliki ukuran yang sangat berkaitan erat dengan
revolusi matahari—detik, menit, jam, dan seterusnya. Sementara itu, duration
adalah ‘waktu yang hidup’, waktu yang berada dalam persepsi dan kesadaran kita,
waktu yang berada dalam persepsi dan kesadaran kita, waktu yang menyatu dengan
diri kita. Bagi Bergson, hanya duration yang terkait dengan persepsi dan
kesadaran. Jadi, bila persepsi dan kesadaran tidak lagi ada, hanaya duration
yang tidak ada. Time tetaplah ada, selama revolusi matahari masih tetap ada.
Ah, Wina, manakah
yang bernar? Aku seperti menjawab sebuah teka-teki dengan teka-teki lain yang
sama-sama membingungkan. Mengapa jalan seakan tak berujung dan kereta tak
sampai-sampai? Mengapa detik-detik bergerak begitu lambat? Mengapa kamu pergi
begitu cepat?
***
Pukul 07.28 kereta
tiba di stasiun Tugu, Jogja. Terlambat sekitar 20 menit dari jadwal semestinya.
Di stasiun, aku dijemput Hendri dan Ratri, dua sahabat lama, teman SMA,
sepasang kekasih yang kini telah menjadi suami istri dengan seorang putri.
Ah, mengapa ada
waktu yang terlambat? Andai aku bisa kembali ke masa lalu. Memberi kesempatan
buatku untuk mengulangi kembali setiap keputusan dan perjalanan, memperbaiki
kesalahan-kesalahan; mungkin aku akan mempertahankan hubunganku dengan Wina.
Aku akan rela meninggalkan Jakarta untuk pindah ke Bandung—tempat Wina kuliah.
Aku akan mencegah Wina pindah kembali ke Jogja. Aku akan menjadi lelaki yang
mengikuti perasaan dan kata hatinya, bahwa aku masih mencintai Wina dan akan
melakukan apapun yang dapat membuatnya bahagia.
Andai aku bisa menguasai
ilmu tentang waktu, mengetahui apa yang terjadi di masa depan, barangkali aku
akan tahu bahwa Wina akan pergi dengan cepat dan hanya punya sedikit waktu
dalam hidupnya. Andai saja aku tahu, aku akan memberikan hari-hari terbaikk di
saat-saat terakhir hidupnya.
Ah, andai aku bisa
menjawab pertanyaan Wina: Apa itu waktu?
***
Pukul 08.57 aku
tiba di rumah duka. Bau kamper menguar ke seluruh penjuru ruangan, menyesaki
seluruh ruang penciumanku. Lalu aku menatap jenazah itu, Wina yang diam dengan
tenang—perempuan cantik yang selalu ingin tahu kini menyerah di hadapan waktu.
Lambat-lambat
percakapan-percakapanku dengan Wina menguat dalam ingatan. Apa itu waktu? Ini
hadiah untukmu! Aku cinta kamu! Jangan pergi1 aku sudah tak tahan lagi! Kita
seharusnya terus bersama. Waktu selalu mengkhianati jarak. Kenapa aku yang
lebih sering ke Jakarta daripada kamu ke Bandung? Lalu kita jadi dua remaja SMA
yang saling berkejaran ditaman bunga. Kita bersepeda berdua. Sembunyi-sembunyi
merayakan ciuman pertama. Apakah kau juga mencintaiku? Alu melihat wajah Wina
yang lugu. Menatapku. Apa itu waktu?
Aku terdiam untuk
waktu yang cukup lama. Sejujurnya, disalam, aku berusaha menghentikan waktu.
Aku ingin menerobos ke masa bertahun-tahun yang lalu saat Wina masih ada dan
kita masih bersama. Aku ingin menghidupkan Wina kembali. Aku membacakan doa dan
mantra apa saja yang aku bisa—tetapi waktu terus berjalan, detik-detik terus
berguguran, dan Wina tetap saja terbaring bergeming. Teman-teman yang lain
segera menghampiriku, menepuk-tepuk pundakku, lalu membingungku ke ruangan lain
tempat berdoa.
Dalam doa aku terus
menerus menghadirkan Wina dalam ingatan; semua tentangnya. Beberapa anggota
keluarga sudah menyiapkan keranda untuk membawa Wina ke pemakaman.
Disanalah aku
melihat wajah Wina untuk terakhir kalinya, saat kain putih yang menutupi
wajahnya sisibak dan waktu seolah berhenti: Menghisap diriku ke dalam
doa—bibirku bergetar, bahuku berguncang, air mataku bergulir tak tertahankan!
***
Tiba-tiba Aku dan
Wina jadi dua anak SMA yang saling kejar di lorong sekolah. Tiba-tiba kita jadi
sepasang kekasih yang saling melempar senyum dan bertukar hadiah. Tiba-tiba
kita terlempar pada kenangan berdua yang terperangkap dalam masa lalu.
“Apakah waktu yang
merekam ingatan dan kenangan?” mata Wina tampak berbinar.
“Waktu merekam kamu
dalam diriku.” Jawabku.
Wina tersenyum
kepadaku—dalam ingatan.
“Kita selamanya!
Kataku, sambil tersenyum, lalu menautkan jari kelingking kami berdua.
Lalu waktu berhenti
untuk beberapa saat. Mem-pause dirinya sendiri, sampai pada saatnya dia kembali
berputar, meneruskan kepingan hidup yang lain...
... dan G-Shock
Fisherman DW-8600 kembali memunculkan angka-angkanya!
Selsai.........
Kehidupan memang tak selalu sejalan dengan apa yang kita harapkan, jodoh, rezeky, dan kematian tuhan sudah mengatur itu untuk kita. Namun yakin lah sebuah cinta yang tulus, suci, takan terpisahkan oleh waktu.
Semoga bermanfaat dan terimakasih.