Apakah kau kecewa hari ini? Kau merasa kalah hari ini? Kau
merasa hidupmu tak sehebat yang kau bayangkan? Tenanglah, Teman, hidup memang
tak selalu soal kebahagiaan. Terkadang kita lupa, bahwa saat-saat kita merasa
kalah dan kecewa sesunggunya merupakan saat-saat terkuat kita.
Kau tak percaya? Izinkan saya bercerita.
Lelaki itu kembali memikul daganganya, dua keranjang besar
yang di penuhi bersisir-sisir pisang. Bayang-bayang pohon sudah lebih panjag
dari dirinya sendiri, jam dinding di sebuah toko yang baru saja dia lewati
mengabarkan bahwa waktu beranjak senja. 14.28, tujuh jam lebih sejak kali
pertama lelaki paruh baya itu menginjakan kaki di seberang pintu rumahnya tadi
pagi. Sampai siang ini, tak sesisirpun pisang terjual. Dia menyusuri
jalan-jalan, memasuki liang-liang gang sempi dan dipadati rumah-rumah penduduk
sambil terus berteriak menjajakan daganganya, “pisang....... pisang..
pisang....”
Tak seorangpun menyahu. Tak seorangpun memanggil untuk
berhenti. Di gang sempit, orang-orang hanya memandang lelaki itu sekilas,
seperti berkata pada dirinya mereka sendiri, “oh, ada tukang pisang lewat” lalu
kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing. Seorang ibu muda sedang menyuapi
anak perempuannya, pemuda gondrong sibuk mencuci motor barunya , anak kecil
berlarian sambil tertawa. Sementara laki-laki itu, sang penjual pisang, terus
berjalan menjemput rezeki yang entah tersembunyi dimana. “pisang.... pisang....
pisang...,” dan masih saja tak seorangpun memanggilnya untuk berhenti, sekedar
tertarik pada pisang daganganya.
Sementara detik-detik terus berguguran di sepanjang
langkahnya yang berat, lelaki patuh baya penjual pisang mulai merasakan lapar
yang melilit perutnya. Ia berhenti sejenak di persimpangan jalan, tepat
menghadap masjid yang sedang mengumandangkan adza. Kemudia, lelaki penjual
pisang menarik nafasnya panjang, mengusap keringat lantas meneruskan langkah ke
muka masjid. Ashar telah tiba dan dia berniat mengistirahatkan tungkai kakinya
yang lelah sambil menunaikan shalat Ashar bagi tuhanya.
Usai shalat, sang penjual pisang duduk di pelataean masjid
menghadap keranjang daganganya. Lapar masih melilit perutnya.
“Berapa pisangnya?” suara berat seseorang memecahkan kristal
lamunannya. Lelaki tambun dengan kantung plastik hitam di tangan kananya.
“Eh, yang itu tujuh ribu, Pak.”
“Lima ribu, ya?”
Lelaki penjual pisang berpikir sejenak, “Kalau enam ribu
tidak apa-apa, Pak. Ambil saja. Kalau lima ribu belum bisa.” Dia tersenyum
ramah.
“Ya sudah, saya beli dua sisi yang ini.” Lelaki tambun
menunjuk pisang pilihannya.
Dengan cekatan, lelaki penjual pisang memasukan dua sisir
psang ke dalam kantung plastik hitam. “ini. Pak.” Katanya setelah selsai.
“Ini uangnya, kembaliannya ambil saja.” Kata lelaki tambun
itu.
Penjual pisang berdebar. Sedetik nafasnya tertahan. “wah,
terimakasih banyak. Pak. Semoga rezeki Bapak selalu lancar dan dimudahkan..”
“Amin,” jawab lelaki
tambun itu, pendek, sambil tersentum. Lalu pergi.
Penjual pisang mengipas-ngipaskan dua lembar uang sepuluh
ribu rupiah dan lima ribu rupiah di atas dagangannya. Dia berharap uang itu
bisa menular, semacam mantra, sihir pedagang yang bisa mengubah pisang jadi
uang. Barang kali.
Lelaki itu segera beranjak dari tempat duduknya. Meneguhkan
kembali keyakinan bahwa tuhan tak mungkin membuatnya menderita hingga ia ak
bisa menahannya. Dia kembali kembangkan dadanya, dia tegakan langkahnya, lalu
kembali menghitung langkah menemui rezeki yang dia yakini sedang menunggunya di
berbagai sudut bumi. Meski lapar masih melilit perutnya, penjual pisang terus
berjalan... “pisang... pisang.. pisang..”
Tak pernah ada nestapa
yang tak berkemudahan, Teman. Hidup selalu punya caranya sendiri untuk
melobangi kebuntuan.
Lelaki paruh baya penjual pisang tiba di sebuah sudur
perkampungan. Di sana beberapa pedagang sedang berkumpul. Penjual mie ayam,
gulali, dan mainan anak-anak. Dia segera bergabung. Seperti bertemu saudara
sendiri, mereka menyambut penjual pisang dengan penuh kehangatan dan keramahan.
“sudah lalu berapa , tho? Tanya pedaganga mie ayam dengan logat
jawanya.
“Yah, sekarang memang susah, kalau dagang buah-buahan
begini.” Kata lelaki penjual pisang di akhiri tawa.
“Sama,” kata penjual gulali,”Sekarang anak-anak dilarang
jajan gulai sama orangtuanya. Jualan ginian jadi susah.”
Mereka semua tertawa. Seolah beban yang mereka pikul
berlepasan satu persatu. Penjualan mainan anak-anak mulai merapikan daganganya.
“Sudah makan, belum?” kata penjual mie ayam pada lelaki
penjual pisang.
“Belum,” jawab lelaki penjual pisang, singkat.
“Barter karo pisang sesisir, yo? Tak kasih semangkuk jumbo
mie ayam spesial! Gelem ora?”
“boleh-boleh..” kata lelaki penjual pisang antusias.
“Sip!” Penjual mie ayam melau meracik semangkuk mie ayam
spesial yang dijanjikannya. Aromanya mulai membebaskan lapar yang melilit di
perut lelaki penjual pisang. Dia tersenyum. Air liur melai membasahi rongga
mulutnya.
Teman, hidup selalu indah pada waktunya. Dan Tuhan tak
pernah tertidur untuk melupakan mereka yang percaya dengan takdirnya.
07.39, selepas isya, lelaki penjual pisang sudah sampai di
rumah kontrakan kecilnya. Anak-anak dan istrinya sudah menunggu untuk makan
malam seadanya, pepes tahu dan kerupuk bawang.
“Hore, Bapak pulang!” teriak anak laki-lakinya, yang paling
besar. Dia berlari menyambut bapaknya, adiknya yang perempuan membuntuti dari
belakang. Kedua anak itu memeluk kaki bapaknya. Lelaki penjual pisang
mengusap-usap rambut mereka, mencium keningnya satu persatu,”Ayo, kita makan!”
katanya kemudian.
Instri menicum tanganya, lelaki penjual pisang tersenyum
tulus kearahnya.”Makan apa hari ini, Bu?”
“Pepes tahu dan kerupuk bawang.” Kata istrinya ramah.
“Alhamdulilah...” kata lelaki penjual pisang.
“Ini uang belanja untuk besok, dan untuk jajan anak-anak.”
Lelaki penjual pisang menyodorkan dua lembar lima ribuan dan selembar sepuluh
ribuan.
“Laku berapa hari ini , Pak?” Instrinya menyodorkan segelas
air putih.
“Enak sisir..” katanya,kemudian ia meneguk segelas air putih
di hadapannya,”Satu sisir di tukar mie ayam, satu sisir lagi di tukar mainan
ini!” Sambungnya sambil mengeluarkan robot-robotan kecil dan boneka kertas dari
dalam tas pinggangnya.
Melihat oleh-oleh yang dibawa bapaknya, anak-anak senang
bukan kepalang! “Asyiikkk!” Teriak si
sulung, melompat gembira.
Sementara anak perempuanya tersipu , tak lama kemudianiah
mengahmpiri bapaknya lalu mencium pipi penjual pisang itu, “makasih, Bapak.”
Bisiknya.
Istrinya tersenyum. Ia merasakan kebahagiaan luar biasa
berbunga di hatinya. “Ayo kita makan?” katanya lembut.
Malam itu, lelaki penjual pisang yang malam, yang berjalan
puluhan kilo dengan keringat bercucuran dari keningya, menjajakan pisang dari
gang ke gang, menjadi juara di rumahnya sendiri.
Di luar rumah, suara jangkrik bersahutan. Deru knalpot bocor.
Pijar lampu 10 watt. Suara tawa terdengar berderai dari dalam rumah kontrakan
mungil lelaki penjual pisang.
Lihatlah teman, kebahagiaan adalah soal bagaimana kita
menjadi juara bagi kita sendiri. Maka, jadilah juara bagi dirimu sendiri,
yakinlah, terus melangkah jangan biarkan dirimu dikalahkan oleh rasa takut dan
ragu. Sebab , setiap orang adalah juara bagi dirinya sendiri.
Itulah sebuah cerita singkat yang menggambarkan setiap dari
kita adalah juara, meskipun kesempatan, cara dan gaya yang berbeda-beda.
Bijaklah dalam setiap aspek kehidupan. Jangan pernah menganggap kegagalan
adalah sebuah akhir, tapi jadikan itu sebagai langkah awal untuk terus maju
dalam menjalani kehidupan kita.
Sumber: cerpen
Hidup Berawal dari Mimpi bondan & fead2black yang di revisi seperlunya.